SALAM SENI DAN BUDAYA

Selasa, 20 Oktober 2009

naskah agus noor

MATINYA TOEKANG KRITIK

Sebuah Teater Monolog

Karya Agus Noor

Terdengar detak nafas waktu…

Sebelum pertunjukan – sebelum dunia diciptakan – denyut waktu itu mengambang memenuhi ruang – semesta yang hampa. Seperti denyut jantung. Terdengar detak-detik waktu bergerak. Seperti merembes dari balik dinding. Seperti muncul dan mengalir menyebar di antara kursi-kursi yang (masih) kosong…

Ketika para penonton mulai masuk ruang pertunjukan, mereka mendengar waktu yang terus berdedak berdenyut itu. Mereka mendengar suara detik jam yang terus berputar. Suara ddetak-detik waktu yang bagai mengepungnya dari mana-mana.[1] Sementara pada satu bagian panggung, mereka menyaksikan kursi goyang yang terus bergerak pelan seakan mengingatkan pada ayunan bandul jam. Bergoyang-goyang. Kursi itu temaram dalam cahaya. Terlihat selimut menutupi kursi itu, seperti ada orang yang tertidur abadi di atas kursi itu. Waktu berdenyut. Kursi terus bergoyangan.

Sesekali menggema dentang lonceng, terdengar berat dan tua.[2]

Kemudian bermunculan orang-orang berjubah gelap,[3] lamban berkelindan, seperti bayangan yang muncul dari rerimbun kabut waktu. Mereka bergerak menuju kursi goyang yang berayun-ayun pelan itu, berputaran mengepungnya, seperti para immortal yang tengah melakukan ritus purba.[4] Dan cahaya bagai gugusan kabut yang berputaran. Sampai kemudian sosok-sosok berjubah menjauhi kursi goyang itu.[5]

Kini, di bawah cahaya yang kepucatan, di kursi itu terlihat Raden Mas Suhikayatno, tokoh dalam monolog ini. Dia terlihat terlelap, bagai tertidur di rahim waktu yang abadi. Tapi ia juga terlihat gelisah, seperti dikepung mimpi. Makin lama ia terlihat semakin resah. Dan ia tiba-tiba tersentak meledak, tepat ketika terdengar jerit waktu: dering jam weker terdengar dari semua sudut. Jutaan jam weker berdering serentak di seluruh dunia. Disertai dentang berualang-ulang. Gema lonceng gereja. Bermacam-macam suara. Tumpuk-menumpuk. Mengembang dan menyusut. Kelebatan gambar-gambar.[6] Semua seperti muncul dan menggulung-gulung dalam ingatan Raden Mas Suhikayatno: Suara pesawat supersonik. Badai menggemuruh beergulung-gulung. Teriakan-teriakan. Suara perang. Suara-suara kemerosak gelombang radio. Di antara suara-suara itu terdengar suara Bung Karno membacakan Proklamasi[7] … lalu menghilang. Muncul suara lain, suara iklan yang lebih modern, lalu kemerosak gelombang radio lagi. Suara-suara dan gambar-gambar yang terus mengalir. Suara Bung Karno pidato berapi-api. Lenyap lagi. Dentang lonceng. Jam berdering. Suara Presiden Soeharto berpidato di depan MPR.[8] Gambar-gambar masa silam.[9] Gambar bertumpuk-tumpuk terus menerus. Kemudian perlahan menghilang…

Dan kesenyapan perlahan menjalar. Hanya terdengar waktu yang terus berdeyut.

Di kursi goyang itu. Raden Mas Suhikayatno terlihat begitu kelisah. Meracau kacau. Sampai kemudian dia terjaga, terengah-engah gelisah, kebingungan.

RADEN MAS SUHIKAYATNO:[10]

(Mengigau risau) Ini jam berapa?.. Tahun berapa?…

Sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu yang pelan…

DENMAS:

(Pelan-pelan terbangun, berteriak memanggil) Bambaaang.[11] Bammbanggg!!! (Jeda) Di mana anak itu… (Kembali berteriak, jengkel) Bambaaaannggg!!… Ya, ampun, Mbang… Baru jadi pembantu saja sudah susah kalau dibutuhkan. Gimana nanti kalau jadi presiden! (Kembali berteriak memanggil) Mbaaanggg….. Bambanggg!!!

Terus saja sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu. Raden Mas Suhikayatno kemudian bersandar di kursi goyang. Terlihat begitu kesepian. Seperti mengeluh. Seperti mendesah…

DENMAS:

Ini kutukan… Ataukah kemuliaan….

Terdengar jam tua bertendang, kemudian ada ketukan-ketukan, seperti suara tik-tak jam berdetak.

DENMAS:

(Seakan hanyut oleh gema suara yang didengarnya, kemudian bertanya entah pada siapa) Kalian dengar suara itu?… Tua dan purba. Kalian bisa merasakan? Begitu lembut… bersijengkat lembut mendatangimu.

Suara tik-ak itu pelan konstan, seirama bicara Raden Mas Suhikayatno.

DENMAS:

Suara waktu! Berabab-abad aku mendengarnya… Terdengar di keretap hujan…, diantara kereta yang menderu… Dengung di sayap lebah… Desah di setiap pencintaa… (Menjadi melankolis dan merasa bahagia, seperti menghayati butiran-butiran waktu yang merembes ke dalam tubuhnya) Ya, itu suara waktu…

Tiba-tiba suara tik-tak itu berubah cepat – berdetak-detak dipukul-pukul jadi suara ketukan orang jualan siomay. Dan terdengar teriakan pedagang itu, “Maaayy…. Siomay…”

DENMAS:

(Jengkel, berteriak ke arah ‘pedagang siomay’ itu) Brengsek! (lalu ngomel sendiri) Saya kira suara waktu!… (Tergeragap, seperti tersadar, ingat sesuatu) Waduh… Jangan-jangan saya memang sudah ditinggalkan waktu. Terlambat! Ini ‘kan tanggal tujuh belas!

Raden Mas Suhikayatno cemas, gelisah…

DENMAS:

(Berteriak memannggil mencari-cari pembantunya) Bambaaangg… cepet ambilkan jas saya! Mereka pasti sudah menunggu saya….

Terdengar celetukan dari para pemusik; “Hai, Mas… Gelisah begitu kenapa?…”

DENMAS:

Saya mau ikut upacara tujuh belasan di Istana Negara…

Terdengar jawaban dan celotehan dari para pemusik: “Tujuh belasan apa!… Merdeka saja belum, kok!… Mas, ini masih jaman pra sejarah. Homo sapien saja belum ada… Adanya homoseks… dst”

Raden Mas Suhikayatno jadi bingung, tak percaya. Linglung kembali duduk di kursi goyang…

DENMAS:

Apa saya menderita amnesia, ya? (Menunjuk kepalanya) Waktu seperti ingatan yang bertumpuk-tumpuk. Saya mengira Minggu… ternyata Rabu. Sering saya mendapati diri saya berada di waktu yang salah.

Bersamaan dengan itu terlihat lagi tumpukan gambar-gambar berbagai peristiwa, menyorot ke arah Raden Mas Suhikayatno, seperti ingatan-ingatan yang berpusaran dalam kepalanya…

DENMAS:

Ini tahun berapa sebenarnya… Ini tahun berapa…

Sampai terlihat gambar orang-orang bersorban putih, berbaris berteriak.[12] Tapi bersa-maan itu terdengar suara derap dan ringkik kuda…

Tiba-tiba terdengar suara,[13] bernada menggema: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

(Bingung, tak percaya) 1998?? Yang bener!

Suara itu terdengar lagi, menegaskan: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

Bukannya ini tahun 1828?

Suara itu kembali menegaskan dengan nada sama: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

Lha itu siapa…, orang-orang yang pakai seragam putih-putih itu…

Suara itu menjawab: “Mereka pasukan jihad.”

DENMAS:

Pasukan Jihad? (Sadar berada di waktu yang salah, waktu yang tak sebagaimana dikiranya) Saya kira pasukan Pangeran Diponegoro… (Bertanya meyakinkan) Bener, ini bukan tahun 1828?!

Suara itu memotong tegas menggema: “In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

(Jengkel) Iya! Iya! Tapi ngomongmu nggak usah bergaya begitu dong! Malah kayak film hantu. Persis Uka-uka![14]

Tiba-tiba suara itu menjawab dengan biasa, memaki: “Oo asu!”

DENMAS:

Eeeh, malah memaki! Saya kutuk jadi Presiden Indonesia, mampus kamu! (Seperti tiba-tiba sadar, dan mencoba menjelaskan, ke arah penonton) Lho iya kan? Jadi Presiden Indonesia itu seperti dapat kutukan kok! Apa sih enaknya jadi Presiden Indonesia, coba? Di Indonesia, profesi presiden itu profesi yang sama sekali tidak menarik. Dari dulu kerjanya gitu-gituuuu melulu: selalu nyusahin rakyat. Kalau kalian termasuk golongan orang kreatif, tolong deh, nggak usah punya cita-cita jadi Presiden Indonesia. Malah nanti tidak kreatif.

Tugas, kewajiban dan tanggung jawab Presiden Indonesia itu monoton kok. Dari tahun ke tahun, sia pun yang jadi presiden, ya tugasnya tetap sama: meningkatkan angka… pengangguran; menambah jumlah devi… apa? Devisit uang Negara…; mencari pijaman luar negeri, menaikan harga BBM… Sama sekali nggak kreatif kan. Mbosenin.

Saya ngomong gitu, bukan karena saya dengki nggak jadi presiden, lho. (Seperti orang yang jijik pada sesuatu) Hiiihhh…., saya nggak mau jadi presiden.

Jangankan Presiden Indonesia… ditawarin jadi raja Hastina saja saya tidak mau kok. Emoh! Padahal Romo Semar sendiri lho yang nawarin. Katanya, saya ini lebih pantas jadi raja Hastina, ketimbang Yusdhistira, si Pandawa paling tua itu.

Saya ingat betuk kok waktu itu… Itu jaman ketika belum ada kerajaan-kerajaan di Jawa. Tapi saya sudah ada. Sudah tua dan imut seperti ini.

Waktu itu terjadi krisis di Hastina, karena Pandawa kalah main dadu. Romo Semar langsung tergopoh-gopoh menemui saya. (Bergaya wayang orang) “Kakang Raden Mas Suhikayatno, kamu harus menyelamatkan Hastina. Kamu harus jadi raja Hastina!” (Pause) Dengan halus saya menjawab, (kembali bergaya wayang orang) “Maaf, Dimas Semar…, maaf. Bukannya menolak, Dimas Semar. Tapi Maaf, Dimas Semar…, maaf. Saya sama sekali tidak punya cita-cita jadi raja di dunia wayang. Maaf lho, Dimas Semar…, maaf. Sekali lagi, maaf Dimas Semar… maaf…” [15]

Itulah track record saya… Saya memilih konstinten sebagai Tukang Kritik yang martabat. Itu yang saya pegang teguh sejak dulu. Sejak zaman Musa, zaman Babilonia… Sejak zaman saya masih jadi pacar gelapnya Cleopatra. Saya menolak diagung-agungkan seperti Julius Caecar. Saya menolak jadi tangan kanan Napoleon…, karena dia kidal.

Saya ini terlalu low profile untuk dijadikan pemimpin…

Itulah sebabnya, dulu saya sempet berantem sama Gajah Mada – karena saya menolak membantunya. Padahal kami temen sepermainan sejak kecil. Temen gaul gitu loh![16] . Suka main gundu dan mencuri buah maja sama-sama.

(Kepada para pemusik) Sssttt…, saya mau cerita…. Tapi ini rahasia lho ya… Jangan disebar-sebarin. Nanti penonton tahu… (Bergaya membisik, seolah berahasia, tapi bersuara keras hingga suara itu tetap saja sampai didengar penonton) Dulu…, semasa remaja, si Gajah Mada itu hobinya ngintip lho!… Nggak nyangka ‘kan, orang yang doyan ngintip begitu, bisa menyatukan Nusantara

Para pemusik menaggapi, tak mempercayai.

DENMAS:

Dibilangin nggak percaya!! Saya ini sering diajak dia ngintip perempuan yang lagi mandi (Sok gaya) Saya, sebagai orang yang menghargai perempuan, ya jelas tidak mau… Tidak mau ketinggalan ikut ngintip.

Nah, suatu senja…. (Mulai bergaya mempraktekkan apa yang dikisahkannya) si Gajah Mada mau ngintip nih… Ia mengendap-endap, sembunyi di balik belukar dan pepohonan. Persis Jaka Tarub ngintip bidadari mandi. Saya ngikut dibelakangnya, gemeteran… Takut ketahuan. Saya bilang, “Mad, Mad… Mada… kita pulang saja yuk…” Tapi dia tak mau. Dia malah naik ke pohon. Welah, sial! Di pohon itu ada sarang lebah, dan si Gajah Mada menyenggolnya. Langsung tawon-tawon itu menyerbu wajahnya…. Wuuut…wuuut… Itulah sebabnya, seperti pada gambar di buku sejarah yang sering kalian lihat: Gajah Mada bengkak wajahnya…[17]

Raden Mas Suhikayatno berjalan ke arah meja yang di tempatkan sedemikian rupa menurut kebutuhan tata setting dan artistik. Meja itu bergaya kuno, dengan sepasang kursi yang juga tua. Mengingatkan pada perabot seorang priyayi Jawa. Ada cangkir dan gelas di atas meja itu. Juga majalah dan koran yang tak rapi. Raden Mas Suhikayatno yang kecapaian karena terus-terusan bercerita, segera duduk di kursi. Menikmati minuman. Tapi kaget tersedak…

DENMAS:

(Menyemburkan minuman dari mulutnya, ngomel dan mengeluh) Astaga… Bambang! Ini kan teh dua hari lalu. (Berdahak seperti mencoba mengeluarkan sesuatu dari kerongkongannya) Saya sampai tersedak cicak! Bambanggg!!! Bambanggg….. (Jeda) Bener-bener punya bakat jadi presiden dia: kagak dengar meski sudah diteriakin… Alias budeg! Kata orang, budeg itu memang penyakit permanen presiden.

(Mengomel sambil mengambili majalah dan koran) Meja sampai berantakan begini… (Mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah itu, sambil terus ngomel dan memanggil) Mbang, apa ada surat buat saya?… Saya ‘kan sudah bilang, semua mesti rapi. Biar saya tidak bingung begini. Dibilangin dari dulu, eh tetap nggak didengerin. Apa sih susahnya ndengerin. Dibilangin baik-baik, eh malah ngata-ngatain, “Dasar Tukang Kritik sirik!”

Saya ngritik bukan karna sirik. Saya ngritik karena saya ingin semuanya baik. Hingga hidup bertambah baik. ‘Kan enak kalau semua kelihatan baik. Saya nggak seneng kalau kamu jorok. Baju kotor. Jangan kayak seniman: celana dalem, lima minggu sekali baru ganti.

Dikritik memang sakit… Itu tak seberapa. Sebab orang yang suka mengritik itu justru lebih merasa sakit, bila kritiknya nggak didengerin. (Jeda) Untung saya cukup sabar sebagai Tukang Kritik. Saya nggak pernah marah, meski disepelekan. Buat apa marah? Nggak ada gunanya…… (Lalu berteriak memanggil pembantunya lagi, pelan) Mbang… Bambangg…. Orang itu mesti yang sabar…. Bambaaangg… (Lama-lama teriakannya makin tinggi dan bernada marah) Diancuk! Mbang, mana surat itu!… Bambaaang!! (ke arah penonton, masih mengeram marah) Kalian lihat sendiri kan, dia selalu menyepelekan saya… tapi saya tetep sabar… (kembali berteriak marah) Kamu taruh mana surat itu?!

(Sampai kemudian merasa disepelekan, dan mulai mengeluh kepada siapa pun yang mendengarnya, mengeluh ke arah penonton) Sakiiittt ati saya. Sakit, sakit, sakitttttt kik kik kit…. Kadang saya pikir, buat apa saya teriak-teriak marah begitu. Buat apa saya terus-terusan mengritik… Kadang saya merasa lelah juga kok jadi Tukang Kritik. Saya pingin berhenti mengritik. Tapi kalau berhenti mengritik, saya sendiri yang malah sakit. Baru semenit tidak mengritik, mulut saya langsung pegel-pegel. Sehari tidak mengritik, langsung bisulan pantat saya.

Yaah, barangkali memang beginilah resiko jadi orang yang sudah terlanjur dicap sebagai Tukang Kritik. Saya cuma dianggap kutu pengganggu. Tapi saya menerima dengan lapang dada semua perlakuan itu. Saya sabar, sabaarrr… saya sabar… (tapi kata ‘sabar’ itu diucapkan dengan intonasi mengeram tajam) Meski kalian terus menyepelekan orang macam aku[18]… Orang yang kalian cibir sebagai Tukang Kritik!! Kalian hendak mengapusku dari ingatan zaman. Kalian menatapku dengan mata penuh penghinaan…

Raden Mas Suhikayatno tersengal kelelahan, kepayahan di puncak kemarahannya. Kemudian ia berjalan ke meja lagi. Marah. Mengeram. Kalap mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah yang langsung diacak-acaknya hingga berhamburan kemana-mana.

DENMAS:

Kalian memang mau melupakanku! Kalian mau melupakanku! Melupakanku!

Kemudian teriakan dan kemarahan itu perlahan melemah. Raden Mas Suhikayatno terisak, terhuyung-huyung menuju kursi goyangnya. Ia duduk di kursi goyang itu dengan tubuh gemetar. Meraih selimut dan segera menutupi tubuhnya yang gemetaran…

DENMAS:

(Terdengar seperti menghiba, seperti suara orang yang bersikeras mempertahankan harga dirinya)) Apa salah saya? Saya selalu tulus mengritik kalian… Tapi kenapa kalian memperlakukan saya begini?

Tak ada yang lebih menyakitkan, selain dilupakan…

(Mengagah-gagahkan diri, sikap seorang terhormat di hadapan kematian) Penjarakan saya! Ayo! Bunuh saya!…. Itu jauh lebih terhormat bagi Tukang Kritik macam saya…

(Lalu kembali gemetaran) Alangkah mengerikan dilupakan….

Kemudian Raden Mas Suhikayatno memegangi dadanya. Ia dihantam nyeri yang sangat. Kemudian berteriak serak dengan sisa-sia tenaganya. Teriakan itu terdengar tertahan di kerongkoannya,

DENMAS:

Bambaaaannggg…. Obat saya… Obat saya… Tolong… Air… Bam-banggg… Bammmmbaaannggg….

Suara Raden Mas Suhikayatno makin lama makin pelan, makin terdengar sebagai rerancauan. Cahaya di kursi goyang itu menggelap, ketika Raden Mas Suhikayatno sudah menutupi seluruh tubuhnya. Kursi itu hilang dalam gelap. Hanya terdengar suara Raden Mas Suhikayatno yang terus memanggili pembantunya: “Bambaaang…. Bambaaang…

Baaammmbaanngg…. dst…” [19]

Sementara itu, dari sebelah kiri kanan kursi, muncul sosok hologram yang sama persis dengan Raden Mas Suhikayatno. Tubuh dan wajahnya. Pakaiannya. Persis. Kedua sosok hologram itu memandang ke arah kursi goyang yang kini terlihat pucat di bawah cahaya yang menyorotnya, bergoyang-goyang, tertutup selimut – dimana seolah-olah ada Raden Mas Suhikayatno yang gemetaran di balik selimut itu. Untuk menegaskan itu, kursi goyang mestilah terus berayun-ayun pelan,[20] dan terus terdengar rintihan suara Raden Mas Suhikayatno yang sesekali meracau demam, sesekali memanggili pembantunya. Kedua hologram itu mulai bicara. Sebut saja mereka dengan nama Hologram 1 dan Hologram 2.[21]

HOLOGRAM 1:

Dia kelelahan…

HOLOGRAM 2:

Dia berusaha bertahan…

HOLOGRAM 1:

Nasibnya akan sama, seperti para Tukang Kritik lainnya… Pingsan di kursi kekuasaan!

HOLOGRAM 2:

Dia sedang menghimpun kekuatan…

Sementara suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua hologram itu..

HOLOGRAM 1:

Dia sedang belajar menerima kekalahan…

HOLOGRAM 2 :

(Kepada hologram satunya) Kau sinis karena tak percaya takdir!

HOLOGRAM 1:

Aku tak menyerah pada takdir, karena tak ingin jadi kentir! Atau jadi kaum munafik sepertimu…

Sementara suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua hologram itu..

HOLOGRAM 2:

Tapi aku tak menyerah… Seperti dia yang juga tak menyerah. Seperti semua Tukang Kritik yang hidup sepanjang sejarah…

HOLOGRAM 1:

Taik! Tukang kritik tak lebih cuma kaum munafik! Munafik! (menuding dan menghardir, terus-menerus) Munafik! Munafik….

Teriakan ‘munafik’ itu terus terdengar berulang-ulang, makin meninggi, dan dua sosok hologram itu lenyap. Sementara kursi goyang berayun cepat, gelisah. Raden Mas Suhikayatno yang disergap suara-suara itu kian meracau. Memanggil-manggil nama pembantunya. Suara Raden Mas Suhikayatno, makin lama makin meninggi : “Tidak… Tolong…. Bambang…. Bambang…..” [22]

Sampai kemudian ‘teriakan-teriakan itu’ menghilang. Tetapi kursi goyang itu terus bergoyang-goyang gelisah…

Muncul Bambang,[23] membawa sapu lidi, tergopoh-gopoh mendekati kursi goyang.

BAMBANG:

Iya, Tuan…. Ada apa, Tuan…. Maaf…… Ya, Tuan…

Bambang bingung dan gugup memandangi kursi goyang itu, melihat majikannya yang meracau memanggil-manggil namanya: “Bambang… Baammbbaaangg…” Sampai kemudian suara itu berhenti. Raden Mas Suhikayatno tertidur lelap. Diam. Tak ada suara…

BAMBANG:

(Sambil membetulkan selimut, seakan-akan menyelimuti majikannya agar lebih tenang tidurnya) Kasihan Tuan…

Terdengar suara, seakan ada benda jatuh atau sesuatu yang mengejutkan.

BAMBANG:

Sssssttttt… Tolong, jangan berisik. Biar Tuan bisa istirahat… Kasihan dia. Akhir-akhir ini kelihatan gelisah. Bingung. (Jeda) Yaa, sebenarnya dari dulu sih Tuan saya itu orangnya membingunkan. Saking membi-ngungkannya, sampai-sampai saya juga ikut bingung.

Tuan saya orangnya eksentrik. Kerjanya nyalahin orang. Ada ajah yang diomelin. Inilah, itulah. Saya dikatain ginilah, gitulah. Tiap hari kerjanya ngritiiiiikkkk melulu. Apa saja dikritiknya… Kalau Anda pakai kaos kuning, dan dia ngelihat, pasti langsung ngritik: “Ih kuning kayak tai…” Nanti kalau Anda ganti pakai kaos merah, tetep saja dikritik: “Ih, apa hebatnya kaos merah!”… (Begitu seterusnya). [24]

Bambang kemudian melihat majalah dan koran yang berhamburan berantakan, dan segera memberesi.

BAMBANG:

(Sambil memeberi koran majalah itu) Nanti kalau bangun, pasti ngomel-ngomel… (seolah menirukan majikannya) “Ngapain kamu berantakin! Dasar nggak becus jadi pembantu!” (pause) Saya memang nggak becus atuh jadi pembantu. Nama saya ajah Bambang. Mana teh ada pembantu namanya Bambang. Saya mah pantesdnya jadi presiden, uiy… Meski jerawatan gini!

Yang nyebelin, nanti kalau udah saya beresin, tetep ajah saya diomelin… (kembali menirukan majikannya) “Siapa yang suruh ngrapiin! Lihat, halamannya jadi sobek gini!” (pause) Begini salah, begitu salah. Begitulah Tuan saya. Di dunia ini nggak ada yang bener dimatanya.

Bambang mau menaruh koran dan majalah itu di satu tempat, tetapi mendadak terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, setengah mengigau: “Jangan di situ…”

BAMBANG:

(Kaget mendengar suara itu) Gila kan…lagi tidur ajah masih tetep suka ngritik!

Lalu membawa kembali koran-koran itu dan menaruh di ajah meja, agak dilempar begitu saja. Dan Langsung terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau: “Yang bener… yang rapi…”

BAMBANG:

(Gemes, jengkel) Hhhhhmmm. Gemes aku! Sebel aku! Binguuuuuuuu-unngggg!!!

Kalian bisa bayangkan, bagaimana stressnya saya jadi pembantu Raden Mas Suhikayatno Purwokerto ini… Sejak kecil saya jadi pembantu di sini. Bapak saya juga jadi pembantu di sini. Kakek saya. Juga simbah buyut saya. Begitu juga simbahnya simbah, simbanhnya simbahnya simbah saya… semua jadi pembantu di sini. Turun temurun dikutuk jadi pembantu!

Tapi Simbah saya pernah bilang, “Jadi pembantu seperti ini bukan kutukan, Le.[25] Tapi keberuntungan. Kita ini orang-orang pilihan, Le. ”

Jadi, trah saya itu trah pembantu. Asli. Orisinil. Darah saya itu darah murni seorang pembantu. Kalau di dunia sihir, saya ini disebut penyihir murni. Bukan penyihir keturunan mugle, seperti Harry Potter.[26] Jadi darah pembantu yang mengalir di tubuh saya ini termasuk jenis darah yang ningrat. Jenis pembantu priyayi. Ini kasta tertinggi di tingkatan pembantu. Kalau kasta paling rendah ya kasta pembantu jenis TKI itu… Disiksaaaa melulu…

Kadang saya ini merasa nggak jauh beda kok sama para priyayi raja-raja itu. Paling beda dikit lah. Mereka turun-temurun jadi raja, saya turun-temurun jadi pembantu. Kalau raja-raja itu punya gelar, sebenernya saya juga berhak menandang gelar… Mereka bergelar Amangkurat I. Karena pembantu, saya cukup bergelar Amongtamu I. Nanti, keturunan saya akan bernama Amongtamu II…, Amongtamu III, dan seterusnya. Atau bisa juga menyebut diri mereka sebagai Hamengkukusan atau Hamengkudapan. Pokoknya yang berbau-bau dapur lah. Karena sebagai trah pembantu, kami memang mesti mawayu hayuning dapur.

Mengambil sapu lidi yang tadi dibawanya, kemudian mulai menyapu…

BAMBANG:

Tapi ya ada senengnya juga kok jadi pembantunya Raden Mas Suhikayatno ini…. Beliau itu orang hebat. Dia itu….

Mendadak terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, mengigau, seperti memanggil: “Mmbaaaang…. Bambanggg….”

BAMBANG:

(Tergeragap) Ehh… iya, Tuan…. (kepada penonton) Tuh ‘kan, apa saya bilang. Beliau itu orang hebat. Seperti wali. Kalau digunjingin langsung kerasa…

Raden Mas Suhikayatno terus meracau, dan Bambang buru-buru mendekat ke kursi goyang itu.

BAMBANG:

Iya, Tuan…. Saya cuma ngobrol. Ada tamu… Tidak, tidak ngantar surat… Cuma nonton… Surat? Dari tadi kok nyari-nyari surat terus?! Maksud Tuan surat apa? Surat gadai? Surat tagihan? Surat tilang? … Nggak ada surat apa pun, Tuan… WR. Suratman juga nggak ada… (kemudian sadar kalau maji-kannya ternyata tertidur).

Terdengar bunyi dengkur…

BAMBANG:

(Bernada ngedumel) Wahhh, lama-lama Tuan ini mirip Gus Dur… diajak ngomong kok malah tidur.

Lalu dengan pelan, takut membangunkan, Bambang berjalan menjahui kursi goyang itu. Kembali bicara kepada penonton.

BAMBANG:

Tadi sampai mana?… (Mengingat-ingat) Eemm. Oh, ya… hebat…

Dia itu terkenal banget sebagai Tukang Kritik nomor wahid. Banyak versi cerita seputar sosoknya. Kisah kelahirannya saja ada lebih 1.501 versi. Ada yang mengisahkan ia lahir dari bonggol pisang. Ada yang bilang ia muncul begitu saja dari kabut waktu. Tapi ada juga bilang: dia itu anak hasil kawin silang manusia dan genderuwo.

Bambang menenggok ke arah kursi goyang, agak ketakutan. Takut kedengeran…

BAMBANG:

Kalau dilihat dari tampangnnya, ada benernya juga sih cerita itu… Serba tanggung. Cakep enggak, buruk iya. Setengah manusia, setengah makhkuk sengsara… Beda jauh ‘kan sama saya? [27]

Bahkan ada yang percaya: dia sudah ada sejak permulaan dunia. (Bergaya menduga-duga) Jangan-jangan dia itu sesungguhnya pacar pertama Hawa, sebelum Hawa akhirnya menikah sama Adam…

Tiba-tiba gugup, dan langsung mendekat ke arah penonton…

BAMBANG:

Sebentar…. Saya harus klarifikasi sebentar soal Adam dan Hawa dulu. Biar tak terjadi salah interpretasi. Biar tidak diprotes. Dianggap melecehkan. Adam di sini bukan Adam manusia pertama yang jadi nabi itu lho, tapi Adam Malik… Sedangkan Hawa…. (bingung sendiri dan mikir mencari-cari) hmmm.., kalau Hawa apa ya? Oh ya, Hawa itu maksudnya Hamid Hawaludin…[28]

Sejak saya di sini, Beliau ya begitu-gitu terus. Nggak tua-tua. Seperti nggak bisa mati. Dulu Kakek saya pernah bilang, (Menirukan suara Kakeknya) “Tukang Kritik sejati seperti dia nggak bakalan mati! Dia itu legenda setiap zaman. Tahu tidak, di zaman Yunani… dia mengubah namanya jadi Socrates.”

Itu kata Kakek saya. Saya sih percaya-pecaya saja. Lagi pula, kalau dirunut secara etimologi, ada benernya juga kok: Socrates… ‘Sok-krates’… asal katanya ‘Sok’ dan ‘protes’. Sok-protes. Nah, Raden Mas Suhikayatno ini kan juga seneng protes. Jadi antara Socrates dan Suhikayatno, bisa jadi emang orang yang sama… Yah, minimal namanya sama-sama berawalan S.

Menurut sahibul hikayat, Raden Mas Suhikayatno ini memang dikenal memiliki banyak nama. Dia pernah dikenal sebagai Gallileo. Di Perancis dia dipanggil Voltaire. Tapi begitu di Jawa dipanggil Empu Gandring. Lalu jadi Gandhi waktu di India.

Kata Kakek saya, (kembali menirukan suara Kakeknya) “Mereka memang berbeda nama… Tapi lihat, apa yang mereka lakukan… Mereka semua sesungguhnya orang yang sama.” (Jeda. Ragu) Iya juga sih… Tapi gimana nalarnya ya: dari Gandring kok jadi Gandhi? Aneh kan kalau nanti di tulis: Gandhi bin Gandring…

Nama Raden Mas Suhikayatno ini juga meragukan kok. Ini nama beneran, atau nama jadi-jadian.

Anda kau tahu, yang namanya legenda, pasti banyak nggak masuk akalnya. Apalagi ini legenda menyangkut seorang tokoh. Tahu sendirilah, syndrome para tokoh: suka membesar-besarkan peran mereka dalam sejarah. Saya kira, majikan saya ini pun mengindap syndrom macam itu…

Bambang sejenak memandang ke arah kursi goyang, takut omongannya kedengaran Raden Mas Suhikayatno. Tapi langsung tenang ketika melihat tak ada reaksi dari arah kursi goyang.

BAMBANG:

Saya nggak menghinanya lho… Bagaimana pun saya hormat kok sama Beliau. Memang dia suka banget ngritik. Tapi pada dasarnya dia baik kok.

Kalau dirasa-rasa, terasa betul kok kebenaran dalam kritik-kritiknya. Kritikannya tulus. Jujur.

Soalnya orang yang suka mengritik itu kan banyak macamnya. Ada yang mengritik asal mengritik. Ada yang mengritik, supaya dianggap berani dan kritis. Ada yang selalu mengkritik, agar dapat perhatian. Ada yang terus-terusan mengkritik, karena sudah nggak sabar nunggu giliran duduk di kursi kekuasaan. Di luar pagar teriak-teriak, begitu udah di dalam malah tambah rusak.

Tuan saya ini nggak silau kedudukan. Dari dulu ya di situ terus duduknya. Nggak pindah-pindah. Ditawari jadi Presiden Indonesia yang pertama juga nggak mau…

Untung juga ya dia nggak jadi Presiden Indonesia. Bisa berabe kalau yang jadi presiden pertama dia. Kalau Sukarno sih memang pantes. (Mengeja dengan nada melodius) Su-kar-no. Terdengar enak ditelinga. (Meniru suara pembawa acara upacara) “Inilah presiden pertama kita: Sukarno…”. Gagah betul kan kedeengarannya… Lha kalau dia? (Kembali meniru suara pembawa acara upacara) “Ladies and gentlement, inilah presiden pertama Republik Indonesia: Su..ka..yat…yat…yat…yat.. no…no…” Diberi echo ajah tetep kagak enak. Su-ka-yat-no… Nama yang amat sangat tidak nasionalistis!

Lagi pula nama Kayat kan berbau kekiri-kirian. Ka-yat. Kedengaran seperti “rak-yat”. Jenis nama-nama yang bisa membawa nasib buruk buat para pemiliknya. Contohnya: Mu-nir…[29]

Terdengar suara erangan dari arah kursi goyang: “Bambaaangggg… Bambaanggg…. Jam berapa…”

Cepat-cepat Bambang pura-pura sibuk menyapu.

Terdengar suara Raden Mas suhikayatno bertanya: “Ini jam berapa…. Ini Tahun berapa…”

BAMBANG:

(Sambil terus pura-pura sibuk menyapu) Jam 4… Tahun 2011…

Raden Mas Suhikayatno terus mengigau memanggil nama “Bambang” sesekali-kali. Bambang tetap sibuk menyapu. Sampai kemudian suara igauan Raden Mas Suhikayatno berhenti…

BAMBANG:

(Melihat sebentar ke arah kursi goyang itu, lalu segera ke arah penonton) Ngegosip lagi aahhh…

Saya ingat. Empat tahun lalu. Tepatnya tahun 2008. Ya. Tahun 2008. Kira-kira 8 bulan sebelum penyenggaraan Pemilu. Raden Mas Suhikayatno diminta jadi pimpinan KPU. Tapi dia nggak mau. Takut terlibat karupsi berjamaah seperti KPU periode sebelumnya…

Saat Pemilihan Presiden tahun 2009, Beliau juga diminta jadi wakil SBY. Soalnya Jusuf Kala maju sendiri jadi Capres didukung Partai Golkar.

Waktu itu memang banyak pengamat yang bilang, kalau majikan saya dan SBY itu pasangan ideal. Lebih cocok, begitu. Ya, setidaknya dibanding wakil SBY sebelumnya, yang dianggap terlalu kreatif, dan terlalu banyak inisiatif. [30]

Saya sih nggak terlalu ngerti politik. Nggak tahulah, gimana kelanjutannya. Yang jelas, pada Pemilihan Presiden tahun 2009 itu pemenangnya adalah calon yang didukung Partai Panji Tengkorak. Yakni, Butet Kertaredjasa.[31] Inilah pertama kalinya, seorang seniman berhasil menjadi presiden di Indonesia…. Gimana seniman ngatur Negara ya? Ngurus hidupnya sendiri saja ruwet…

Tahu, apa program pertama Butet Kertaredjasa sebagai presiden? Mengganti nama-nama jalan. Nama jalan yang tadinya dipenuhi nama tentara, diganti dengan nama para seniman. Jalan Gatot Subroto diganti menjadi Jalan Sapardi Djoko Damono. Jalan S. Parman diganti Jalan S. Bagio. Pokoknnya semua jalan diberi nama seniman. Dari jalan tol, jalan tembus, sampai jalan buntu. Bahkan Jalan Taman Lawang[32] juga diganti menjadi Jalan Djaduk Ferianto. [33] Hanya satu nama jalan yang tidak di ganti. Yakni Jalan Gajah Mada. Karena Gajah Mada itu teman sepermainan majikan saya.

Sampai kemudian, terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau memanggil: “Bambangggg… Pukul berapa sekarang…..”

BAMBANG:

(Tergopoh mendekati kursi goyang) Iya Tuan…. Jam 8 malam… Mau air panas sekarang?

Suara Raden Mas Suhikayatno datar: “Capek… Ini tahun berapa?”

BAMBANG:

(Sudah duduk bersimpuh di dekat kursi goyang itu) Tahun 2011, Tuan… Saya pijit ya…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Kamu yakin… Bukan tahun 3050?…”

BAMBANG:

(Sambil seakan-akan memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno) Wah, kejauhan loncatnya, Tuan… Nggak ada itu di naskah…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Saya yakin ini tahun 3050… Samar-samar saya melihat bayangan bertumpuk-tumpuk….”

BAMBANG:

(Sambil terus memijat, tapi juga melihat ke arah kejauhan) Ooo, itu Borobudur dibikin jadi tingkat lima, Tuan…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Apa surat itu sudah datang?.. Siapkan pakaian saya…”

Bambang segera bergegas mengambi baju majikannya.

BAMBANG:

(Menyerahkan baju yang diambilnya ke arah kursi goyang itu) Yang ini kan… (Lalu membentangkannya di selimut) Saya pijit ya, Tuan.. (Ia kemudian kembali memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno – terdengar desah nafasnya yang keenakan dipijit – terus ke atas, tiba tiba ia melonjak kaget, sementara tangannya terbenam masuk selimut seakan dicengkeram majikannya) Enak Tuan… Aduh, Maaf Tuan… Sumpah nggak sengaja mijit yang itu. Saya kira tangan Tuan… Tapi kok lembek…. Aduuhhh… Sakit, Tuan… Aduhhhh….

Tangan Bambang terpiting, ia kesakitan berdiri. Lalu pelan-pela ia mengubah diri menjadi Raden Mas Suhikayatno. Perubahan ini terjadi dengan perubahan situasi: dari Bambang yang dipuntir tanggannya, menjadi Raden Mas Suhikayatno yang memuntir tangan Bambang.

Kini Raden Mas Suhikayatno memakai selimut di pundak dan menutupi tubuhnya hingga seperti berjubahkan selimut itu, berdiri dari kursi goyang, memegangi tangan pembantunya….

DENMAS:

Kurang ajar! Bener-bener tidak punya tata karma. Barang keramat milik majikan kok dimain-mainin… Enak tau! Kamu mau apa kok grayang-grayang begitu…

PAUSE: berubah jadi Bambang (melepas selimut itu), bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….

BAMBANG:

Ampun, Tuan… Saya cuma mau ngetes… onderdil tuan masih tokcer tidak…

PAUSE: berubah jadi Raden Mas Suhikayatno (kembali memakai selimut), berdiri memandangi ke arah pembantunya yang bersimpuh dekat kakinya.

DENMAS:

Eee…menghina ndoromu ini ya?! Biar prostat sering kumat, tetap saja masih kuat… Dari Ken Dedes sampai Ken Norton, sudah membuktikan ‘keampuhan’ saya… (menggeliat, menguap) Tolong air putih… (seakan ke arah pembantunya yang beringsung pergi) Eh, sekalian tusuk gigi… (Jeda sejenak, terus mengeliat dan olahraga kecil melemaskan otot. Sampai kemudian seolah-olah menerima gelas, berkumur, menyembur-nyemberkan air kumur ke samping kursi, kemudian memakai tusuk gigi)

PAUSE: berubah jadi Bambang, bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….

BAMBANG:

Sekarang Tuan mau mandi dulu, apa langsung sarapan?…Sikat gigi? Sikat gigi sudah saya siapin. Odol masih ada… Kalau tusuk gigi sudah habis, yang Tuan pakai itu ajah bekas yang kemarin..

PAUSE: berubah cepat jadi Raden Mas Suhikayatno,

DENMAS:

(Membentak marah sambil sekan membuang tusuk gigi yang tadi dipakainya, dan bergerak mau memukul) Bajigur! (Seolah pembantunya lari ketakutan) Sial benar saya punya pembantu macam kamu. Awas kamu, ya! (Mengambil baju yang tadi dibawakan pembantunya dan mulai memakainya, sambil berteriak ke arah tadi pembantunya menghilang) Hai, sini!… Ngapain kamu malah naik genting begitu. Sudah, nggak usah alasan mau benerin atap. Ayo, turun! Disuruh turun kok malah mendelik. Kamu itu bener-benar keterlaluan kok. Ayo turun! Cepet turun! Bambang, kamu dibilangin kok ngeyel buanget sih! Sudah nggak becus, ngeyel lagi… Ayo toh turun, Mbang! Turun!

(Kepada penonton) Jangan salah faham ya… Saya ini nyuruh turun Bambang pembantu saya. Bukan Bambang yang lain…

(Kembali seakan ke arah pembantunya itu, mulai sabar) Bambang… Ayo toh turun… Sekarang kamu lihat di kotak surat, ada surat buat saya tidak. Nggak ada? Coba kamu cari di bawah keset, mungkin nyelip di situ… Nggak ada juga? Ya sudah, sekarang kamu nunggu saja di halaman. Iya! Siapa tahu tukang pos itu lewat…

Raden Mas Suhikayatno berbicara di atas sembari juga meneliti tupukan koran dan majalah di atas meja, mencari-cari sesuatu. Memeriksa, membacanya…

DENMAS:

(Tampak kecewa, ketika tahu tidak menemukan surat yang diharapkannya) Pasti mereka lupa mengirimkannya! (Menimbang, menduga, mengira-kira) Lupa mengirimkan, apa tidak mau mengirim-kan? Mereka anggap saya ini siapa?

Maaf, saya bukannya mau mengungkit-ungkit. Tapi hargai dong sejarah saya. Apa dikira Tukang Kritik macam saya nggak menyumbangkan apa-apa? Bagaimana jadinya bangsa ini kalau nggak ada orang macam saya. Sayalah yang memulai sejarah. Orang macam sayalah yang menggerakkan sejarah. Orang-orang yang berani menyampaikan kritik.

Waktu negeri ini masih dijajah Kumpeni…, kalian pikir siapa yang berani sama Kumpeni? (bisa ke arah pemusik, yang merespon suasana, bisa ke arah penonton) Siapa coba yang berani melawan Kumpeni?!… (Dijawab sendiri) Si Pitung.

Kalian terlalu meremehkan peran saya. Apa kalian pikir saya tidak kenal Ki Hadjardewantara, Cokroaminoto, Agus Salim, Sjahrir dan Hatta? Saya sangat kenal mereka…, meski mereka tidak kenal saya. Mereka semua itu sahabat-sahabat saya. Saya selalu menemani mereka berdiskusi hingga dini hari. Ketika mereka diskusi.., saya menemani membikinkan kopi.

Ini sejarah, Bung! Kebenaran paling kecil pun harus ditulis. Saya tak ingin sejarah kita penuh kebohongan. Meski banyak yang bilang: sejarah sesungguhnya tidak lebih dari berbagai macam versi kebohongan!

(Mengambil albun foto di atas meja, dan seolah menunjukkan pada setiap oranag) Coba kalian lihat lagi foto-foto sejrah bangsa ini. Yang ini! Yang ini! Lihat foto pembacaan Proklamasi….

Di layar terlihat foto Pembacaan Proklamasi itu.[34]

DENMAS:

Perhatikan dengan cermat. Itu, di sebelah kanan… Kalian pasti tidak melihat saya. Hanya bidang kosong hitam. Disitulah mestinya saya berdiri. Tapi kalian telah menghitamkannya…

Selama ini saya diam. Kalian menulis para pendiri bangsa berjumlah 68. Saya rela nama saya tak disebutkan. Sebab, ditambah nama saya, berarti jadi 69. Angka 69 kan bisa sitarsirkan macam-macam…

Tapi kenapa kalian hanya menyebut para Bapak bangsa?! Dimana para ibu yang melahirkan mereka? Ibu-ibu Bangsa yang merawat dan membesarkan sejarah bangsa ini?

Sungguh…, saya tak menuntut apa-apa….

Tidakkah kalian ingat di tahun 1995, lebih limabelas tahun lampau, di zaman Soeharto… Ketika semua bungkam… Tukang Kritik seperti sayalah yang mempertaruhkan nyawa. Ketika koran dan majalah di breidel… Ketika kalian masih takut bicara demokrasi… Tidakkah kalian ingat saya…

Bagaimana mungkin, kini kalian perlahan-lahan mengapus saya dari ingatan…

(Meninggi) Sayalah yang selalu mengritik! Karena saya punya suara… Siapa yang bisa membunuh suara? Suara bisa kamu bungkam. Tapi tidak mungkin kamu bunuh. Kamu tak mungkin bisa membunuh saya…

Di puncak kemarahan, Raden Mas Suhikayatno terhuyung… Bersandar di kursi goyang, kelelahan. Dadanya sakit. Ia memanggil-manggil pembantunya….

DENMAS:

Bambaaang…. Toloooonggg…. obat saya…. (lalu meracau) Kalian tidak bisa membunuh saya… Saya suara zaman… Gema yang terus berpan-tulan…

Suara racauan Raden Mas Suhikayatno terus terdengar, makin pelan dan tenggelam, tak jelas. Pada Saat itulah, pelan-pelan muncul suara nyanyian. Seperti angin yang muncul dari pusaran waktu. Pada saat ini video menggambarkan waktu yang berdenyut, semesta yang mengembang dan mengerut. Gerigi mesin waktu yang bergemeretak bergerak. Gambar-gambar itu tumpah pecah ke seluruh panggung. Nyanyian itu, kau dengarkah nyanyian itu?

Yang berdiam di rahim waktu

Engkau siapakah itu?

Kami mendengar di desau hujan

Keluhmu pelan tertahan

Kami melihat ada yang berkelat

Engkaukah itu berbaring lelap

Di pusaran waktu

Di rahim waktu

Siapakah itu?

Bersamaan gema lagu yang meredup, muncul dua hologram itu lagi. Memandangi Raden Mas Suhikayatno yang mengerang gelisah dalam tidurnya.

HOLOGRAM 1:

Lihatlah dia yang selalu tertidur tapi setiap saat merasa terjaga… Ia menderita disiksa mimpi-mimpi yang ia kira kenyataan hidupnya

HOLOGRAM 2:

Bangun… Ini sudah tahun 2028.

HOLOGRAM 1:

Ia masih tersesat di abad silam…

Terdengar genta waktu menggema.

HOLOGRAM 2 :

Tahun 2045

Terdengar lagi genta waktu menggema

HOLOGAM 1:

Tahun 2066

HOLOGRAM 2:

Kau dengarkah yang berdenyut di jantungmu. Suara-suara yang menge-pungmu.

Sementara itu Raden Mas Suhikayatno terbangun, antara tidur dan jaga, memangdangi sekililing yang bagai tak dikenalinya

DENMAS:

Di mana saya…

HOLOGRAM 1:

Kamu ada di mana kamu merasa ada…

HOLOGRAM 2:

Kamu tak ada di mana-mana…

Raden Mas Suhikayatno kebingungan menatap sosok bayang-bayang itu…

DENMAS:

Siapa kamu!

HOLOGRAM 1:

Aku Tukang Kritik yang berjalan melintasi waktu… Akulah kamu yang selalu menyebunyikan wajahmu… Mereka yang membanggakan diri jadi Tukang Kritik, padahal bermuslihat pura-pura baik.

DENMAS:

Tidak….Tidak….

HOLOGRAM 2:

Kamu marah karena kamu dilupakan. Kamu selalu menunggu surat itu datang. Surat yang akan mencatat namamu di barisan para pahlawan…

DENMAS:

(Berteriak-teriak memanggil pembantunya) Bambanggg!!! Bambanggg!!!

HOLOGRAM 1:

Lihat sekelilingmu… Ini tahun 2070… Kamu terselip dipojokan sejarah. Tak ada lagi yang mengingatmu. Tak ada lagi yang membutuhkanmu.

DENMAS:

(Terus berteriak-teriak ) Bambanggg..!!! Bambanggg!!!….

Terdengar genta waktu menggema, berulangkali. Sementara Raden Mas Suhikayatno terus berteriak memanggil pembantunya. Memegangi kepalanya yang kesakitan. Gelombang waktu berpusaran dalam kepalanya.

Terdengar terompet pergantian tahun. Dua sosok hologram itu perlahan menghilang. Hanya tinggal terdengar suaranya di sela pekik keramaian dan sorak-sorai menyambut pergantian tahun… Cahaya kembang api meledak warna-warni!

TERDENGAR SUARA MEKANIS :

Tahun 3001.

TERDENGAR SUARA MEKANIS :

Tahun 3002.

Gerigi mesin waktu berderak-derak bersama lengking terompet pergantian tahun dan pijar kembang api warna-warni, berpijar di langit kota modern…

TERDENGAR SUARA MEKANIN :

Tahun 3003.

TERDENGAR SUARA MEKANIS :

Tahun 3004.

TERDENGAR SUARA MEKANIS :

Tahun 3005.

DENMAS :

(Menjerit keras melengking panjang) Baambbbaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa-aaaaaaannnnnnggggggggggggggg……..

Cahaya tiba-tiba benderang dan semua keriuhan dan suara seketika berhenti. Sepi. Panggung seperti ruang steril hampa udara. Pucat perak…

Raden Mas Suhikayatno tersandar di kursi goyang diterangi cahaya terang monokrom. Raden Mas Suhikayatno memandang bingung sekeliling…

Video-multimedia menghadirkan gambar-gambar gedung menjulang, siluet kota-kota ultra modern. Jalan-jalan layang metalik, mobil-mobil terbang. Kota futuristik. Raden Mas Suhikayatno jadi terlihat terpencil dan kecil dibawah semua bayang-bayang gedung-gedung menjulang itu. Ia hanya memandangi semua itu seperti orang bingung…

DENMAS:

Pernahkan kalian merasa begitu kesepian seperti yang kini saya rasakan?… Kesepian karena kehilangan peran… Mau apa saya… Semua sudah serba rapi. Tertib. Terkomputerisasi. Tak ada lagi yang bisa dikritik…

Raden Mas Suhikayatno menggerak-gerakkan kepalanya, memain-mainkan tangannya seperti kanak-kanak yang bermain menciptakan bayang-bayang. Tapi Ia kemudian segera bosan. Apa pun yang ia lakukan, ia segera merasa bosan.

DENMAS:

Makan sudah… Baca sudah… Tidur sudah… Masturbasi sudah… Apa lagi ya?

Muncul Robot pembantu rumah tangga.[35] Dibalut pakaian ketat perak. Mekanis. Robotik. Robot itu membawakan minuman dalam gelas bening….

ROBOT :

Good morning… Good morning…

Robot itu memberikan minuman kepada Raden Mas Suhikayatno, yang segera menimun isi gelas itu…

DENMAS:

(Setelah meminum) Bahkan minuman pun sudah pas betul… Saya tidak bisa mengritik kurang pahit atau kurang manis… Bahkan yang namanya bau, panas, dingin… semua sudah sesuai dengan keinginan setiap orang! Ternyata negeri adil makmur tentram karta raharja bukanlah utopia…

Raden Mas Suhikaatno lalu dengan males menyerahkan gelas itu lagi kepada robot itu…

ROBOT:

Thank you… thank you… Kamsiah…

Lalu Robot pergi…

DENMAS:

Itu tadi hasil cloning Bambang… pembantu saya yang sudah mati tahun 2022 lalu. Dia keturunannya yang ke 4. Bergelar Raden Mas Bambang Mangkukulkas XI. Dengan kode mesin: PRT 3005 GX …

Cahaya datar. Monokrom. Raden Mas Suhikayatno kembali merasa bingung. Kesepian. Ia tak tahu harus berbuat apa. Duduk tak betah. Berdiri tak betah. Berjalan tak betah. Ia tak tahu harus bagaimana.

Sampai para pemusik berkomentar: “Kenapa, Mas?… Kok bingung begitu?”

DENMAS:

Bingung mau ngritik apa… Punya pembantu saja robot. Nggak bisa disiksa pakai setrika… Zaman macam apa ini, kok semua serba tertib! Serba teratur.

Raden Mas Suhikayatno duduk bingung. Membuka-buka majalah. Koran. Tabloid sepintas lalu. Bosan…

DENMAS:

Semua berita baik… Nggak ada pembunuhan. Nggak ada gossip artis kawin cerai… Bosen!

Lalu kembali kepada para pemusik.

DENMAS:

Ayo dong kalian bikin keributan… Apa saja deh! Merkosa kambing juga boleh… Mau ya? Ya? Apa kalian seneng hidup tertib begini. Sekali-kali bikin masalah ‘kan ya nggak papa. Gini saja, kalian saya bayar… Kita demonstrasi ramai-ramai…

Para pemusik menanggapi. Tanpa ekspresi. Kompak. Menggeleng serempak. Mengang-guk serempak. Mekanik.

Karena tak memperoleh tanggapan sebagaimana yang diharapkan, Raden Mas Suhikayatno segera menuju ke kursi goyang. Duduk di sana. Kembali kesepian…

DENMAS:

(Memandang sekeliling) Inilah jaman di mana bahkan nabi pun sudah tidak lagi diperlukan…(Kembali memain-mainkan tangan,, seperti orang menghitung berulang-ulang) Makan sudah…tidur sudah… mandi sudah… makan sudah… tidur sudah… mandi sudah… makan sudah….. tidur sudah… mandi sudah… (gerakan tangan dan tubuhnya makin lama makin seperti orang yang menderita autis)

Suara Raden Mas Suhikayatno terdengar seperti bandul yang berayun-ayun monoton. Terdengar juga detak waktu yang menyertai nada suara Raden Mas Suhikayatno itu.

Mendadak seperti terdengar suara letusan yang mengagetkan. Raden Mas Suhikayatno meloncat kaget, gembira…

DENMAS:

(Begitu bahagia, mengepalkan tangan senang) Yes! Cihuuiiyyy! Akhirnya ada mahasiswa yang mati tertembak! … Alhamdulillah… Akhirnya ada yang bisa dikritik… (Bersemangat) Ayo, kita protes! Ayo… (Jeda) Apa? (mendadak loyo) Bukan mati tertembak? Cuma mati bahagia… Kok tidak heroik ya matinya…

Kembali duduk kecewa. Kembali ke kursi goyang…

DENMAS:

(Kembali memain-mankan tangan,, seperti orang mengitung berulang-ulang) Makan sudah…tidur sudah… mandi sudah… makan sudah… tidur sudah… mandi sudah… makan sudah….. tidur sudah… mandi sudah… (Gerakan tangan dan tubuhnya kembali makin lama makin seperti orang yang menderita autis)

Sampai kemudia suara Raden Mas Suhikayatno perlahan melemah, dan menghilang…

Kini yang terdengar hanya detak waktu yang monoton. Bersamaan itu cahaya yang monokrom dan datar itu perlahan menyurut. Kursi goyang itu terlihat tenang di bawah sorot cahaya yang kuat pucat. Waktu mendengung panjang. Menggelisahkan.

Kemudian mucul Robot itu. Berjalan mekanik mendekati kursi goyang. Tangan Robot itu terulur kaku ke depan, membawa selembar surat

ROBOT:

Good morning…. Good morning… Bangun, Tuan… Wake up… Wake up… Bangun, Tuan… Ada suratAda surat… Bangun, Tuan… Bangun, Tuan… Ada suratAda surat

Tapi Raden Mas Suhikayatno tak bergerak. Kursi goyang itu tetap tenang. Robot itu terus memanggil-manggil mekanik. Sampai semua cahaya perlahan meredup. Tinggal menyorot ke arah kursi goyang yang tetap tenang itu. Suara robot itu terus-menerus terdengar berulang-ulang. Berulang-ulang…

Semua cahaya menggelap perlahan.

PERTUNJUKAN SELESAI

Yogyakarta, 2003-2005

[1] Secara tekhnis, suara detak-detik jam itu bisa muncul dari sound system yang ditata sedemikian rupa hingga suara itu seperti muncul dari mana-mana dan memenuhi gedung pertunjukan. Bisa juga secara manual dengan menempatkan banyak jam weker di berbagai titik di dalam gedung pertunjukan, di bawah kursi penonton, dsb. Dimana nanti, semua jam weker itu berdering, dengan menempatkan kru pertunjukan untuk mewujudkan tekhnis tersebut. Atau di dinding ruang penonton dipasangi banyak jam aneka rupa dengan penunjuk angka/jarum waktu yang berbeda-beda. Mungkin juga dengan tata artistik yang mempertegas suasana, dengan intensi lukisan semacam “waktu yang memelelah” karya Salvardore Dali. Sementara, bila memakai video/multimedia, bisa divisualisasikan denyut waktu itu secara visual, seperti ada jarum waktu raksasa yang memenuhi panggung, atau gerigi-gerigi mekanik waktu pada jam yang saling bergerak berderak. Pendeknya, secara artistik bisa dikembangkan menurut interpretasi masing-masing.[2] Dentang lonceng ini juga bisa menjadi penanda pertunjukan. Dimulai dentang sekali. Dua kali. Lalu tiga kali, sebagai tanda pertunjukan di mulai. Atau puncaknya sampai berdentang 12 kali, baru mulai pertunjukan.

[3] Para aktor pendukung/para pemusik dan aktor yang akan memainkan monolog ini.

[4] Adegan ini berfungsi untuk memberi kesempatan aktor-pemeran duduk di kursi goyang itu. Pada bagian sebelumnya, di kursi itu hanya terlihat selimut yang merungkupi kursi goyang untuk mengesankan seakan-akan ada orang yang duduk dan tertidur di atas kursi goyang itu. Sejak adegan ini, di kursi goyang itu sudah meringkuk aktor-pemeran.

[5] Bila mereka para pemusik, mereka bergerak ke tempat yang sudah ditentukan menurut kebutuhan pertunjukan. Bila mereka para aktor pembantu, bisa langsung silam ke sisi-sisi panggung.

[6] Ini bila memakai multimedia, dalam hal ini gambar video. Gambar-gambar dari efek video inilah yang menyorot ke arah panggung. Gambar-gambar itu dibiarkan pecah, tak perlu disorotkan ke sebuah layar, tapi diproyeksikan ke arah di mana kursi goyang itu berada.

[7] Suara ini wajib ada. Suara-suara lain bebas dikembangkan sesuai kebutuhan dramatik suara.

[8] Suara ini juga mesti ada. Bisa dimunculkan juga pidato Soeharto ketika menyatakan diri mundur dari jabatan presiden. Juga suara khas Habibie. Suara Megawati. Gus Dur. Sesilo Bambang Yudhoyono. Suara-suara itu muncul berjauhan, tumpang tindih (tidak mesti runut-linear), seperti mencul dari gelombang radio yang serak dan rusak, di antara ilustrasi musik.

[9] Gambar-gambar masa silam ini bisa diambilkan dari potongan-potongan film yang menggambarkan masa silam. Misalkan film The Ten Comandement, yang menggambarkan adegan Nabi Musa, film King Arthur atau The Great Alexander, atau mungkin film Diponegoro, dokumentasi-dokumentasi video/film. Bisa juga ilustrasi gambar yang menceritakan perjalanan waktu – dari seri National Geografhic, misalnya. Atau membuat sendiri.

[10] Untuk efektifitas penulisan, selanjutnya akan disebut “Denmas”.

[11] Bambang adalah tokoh pembantu dalam monolog ini. Nama Bambang dipakai, karena ketika naskah ini ditulis, nama Presiden RI adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Kelak, bila presiden berganti dan naskah ini dipentaskan, maka nama Bambang harus diganti dengan nama presiden yang sedang menjabat. Pilihan nama seperti itu dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan: bahwa jabatan presiden itu sesungguhnya “pembantu rakyat”. Yakni Pembatu yang “diperintah konstitusi” untuk bekerja mensejahterakan rakyat yang menggaji dan membayarnya melalui bermacam pajak.

[12] Gambar ini juga diupayakan ada, karena berkait adegan selanjutnya. Kecuali bila Ada interpretasi lain, dan ingin mengembangkan adegan sendiri. Bagaimana pun, sebagai teks pertunjukan, teks ini sangat terbuka untuk dikembangkan berkaitan dengan situasi, keadaan dan kesiapan pementasan.

[13] Suara ini bisa berasal dari pemusik, atau dari suara aktor pembantu atau kru pentunjukan lainnya. Suara ini bergaya seperti tengah memberikan pengumuman

[14] Uka-uka, pada saat naskah ini ditulis, sangat popular sebagai ikon hantu. Di lain waktu, bisa diganti ikon hantu yang lebih popular ketika naskah ini dipentaskan.

[15] Adegan wayang orang ini bisa diplesetkan (dideformasi) pada bagian yang memungkinkan. Pengulangan kata “maaf” di adegan ini sendiri terinspirasi dari tokoh Mpok Minah di serial Bajaj Bajuri yang selalu mengulang-ulang kata “maaf” seperti itu.

[16] “Gaul gitu loh” adalah ungkapan yang popular dan ngetrend dikalangan anak muda pada zaman monolog ini ditulis. Sebagai ungkapan popular dan ngetrend, itu pasti terkait dan terbatasi mode. Bila monolog ini dipentaskan pada situasi yang (sudah) berbeda, maka ungkapan ini pun mesti disesuaikan dengan uangkapan yang saat itu sedang ngetrend.

[17] Adegan berkisah ini sifatnya “main-main” dalam konteks permainan dramatik. Bisa dikembangkan sebagai upaya memperkaya “main-main” itu. Gaya aktor menceritakan itu cair, ditambah-tambahi, dan para pemusik bisa ikut berceloteh menanggapi, misalnya.

[18] Perhatikan perubahan kata ganti orang pertama, dari “saya” menjadi “aku”. Ketika Raden Mas Suhikayatno menyebut dirinya dengan “aku”, maka ego dia sudah mengempal. Ada dendam dan kegeraman di situ, yang menyulut kemarahannya. Dan itu muncul sebagai ekspresi terakhir untuk menunjukkan harga diri dan keberadaannya.

[19] Ketika cahaya di kursi goyang sudah gelap, maka aktor-pemeran Raden Mas Suhikayatno segera beringsut dari kursi itu, untuk berganti peran. Selimut dirungkupkan ke kursi goyang, hingga mengesankan masih ada Raden Mas Suhikayatno di kursi goyang itu. Sambil beringsut dan pergi itulah, aktor terus memanggil-manggil nama pembantunya itu. Atau untuk efek tertentu, suara itu bisa saja sudah direkam sebelumnya. Jadi selama aktor berganti kostum/berganti peran, suara memanggil-manggil terus terdengar. Atau, suara itu bisa digantikan oleh suara aktor pembantu/pemusik, yang diusahakan mirip dengan intonasi dan warna suara si aktor.

[20] Dengan teknik tertentu, di bagian kursi goyang itu bisa dipasangkan tali senar, dimana seorang kru bisa menarik dan mengulur senar itu agar kursi goyang terus terayun-ayun.

[21] Hologram adalah bentuk visual yang berupa efek pemadatan cahaya, sehingga bisa menghadirkan sosok atau benda dari proyeksi cahaya. Bila tekhnologi ini belum bisa diaplikasikan dalam pertunjukan ini, maka sosok hologram bisa berupa bayangan pada layar dari video/multimedia., berupa visual dari tokoh Raden Mas Suhikayatno, yang sudah dibuat sebelumnya. Tapi bila itu juga tidak mungkin, 2 sosok hologram itu bisa diperankan oleh aktor lain, yang secara casting mirip dengan aktor pemeran Raden Mas Suhikayatno. Tinggal mak up dan kostum disamapersiskan.

[22] Suara ini bisa digantikan oleh aktor pembantu, atau sudah direkam sebelumnya

[23] Dimainkan oleh aktor yang sama, yang memerankan Raden Mas Suhikayatno, setelah berganti kostum.

[24] Di bagian ini bisa dikembangkan dengan interaksi dengan penonton, dimana aktor bisa secara cair-keluar dari peran, memberi komentar tentang baju, cara duduk, atau apa pun dari seorang penonton. Fungsinya untuk menegaskan “kenyinyiran” Raden MAs Suhikayatno yang sedang diceritakan oleh tokoh Bambang itu. Tentu dengan mempertimbangan alur dramatik secara keseluruhan.

[25] Le, berasal dari Thole (bahasa Jawa), yang merupakan panggilan kepada anak laki-laki. Panggilan ini bisa diganti menurut kebutuhan tempat dan etnis lainnya, tergantung di etnis mana pentas ini berlangsung.

[26] Mugle adalah istilah para penyihir untuk menyebut “manusia”, dalam buku Harry Potter karya J.K. Rowling. Penyihir keturunan mugle artinya penyihir yang punya unsur darah manusia dalam trah keluarganya.

[27] Ini “joke alusif”, karena sesungguhnya dua orang itu sama, karena dimainkan oleh aktor yang sama.

[28] Ini adalah joke yang kontekstual, dimana pada saat monolog ini ditulis, nama Hamid Awaludin – yang disini kemudian diplesetkan menjadi Hamid Hawaludin – cukup popular di masyarakat. Bila jaman berganti, dan nama itu tidak cukup dikenal, mana harus ada penyesuaian atas joke ini.

[29] Bisa dikembangkan dengan berinteraksi dengan menyebut nama-nama tokoh yang hadir, yang kira-kira dianggap kritis pada saat ini. Pada saat ini, sebagai contoh nama Te-ten, Bas-ri…

[30] Teks pada bagian ini sangat kontekstuak, yang terkait dengan situasi dimana naskah ini ditulis pertama kali. Bila pada suatu saat, konstelasi politik berubah, dan mungkin sudah terjadi pergantian pemerintahan/presiden, maka nama dan konteknya mestilah disesuaikan. Misalkan naskah ini dipentaskan tahun 2015, maka “waktu kisah dan peristiwa dalam lakon ini” juga mesti disesuaikan – dimajukan kira-kira sepuluh tahun ke depan.

[31] Penyebutan Butet Kertaredjasa di sini, karena monolog ini pertama kali akan dimainkan oleh dia. Apabila naskah ini dipentaskan oleh aktor lain, maka nama aktor yang memainkan itulah yang disebut.

[32] Taman Lawang adalah wilayah yang berkonotatif “permesuman”. Tiap daerah punya lokasi seperti itu.

[33] Di sini penyebutan nama-nama itu juga situasional. Yang penting nama itu familiar dengan audiens. Dan bisa juga “menggarap” beberapa nama seniman yang kebetulan saat itu hadir menyaksikan pertunjukan. Jadi penyebutan nama-nama itu fleksibel, dan kira-kira tak menjadi preseden yang bisa merugikan pementasan itu sendiri.

[34] Dalam gagasan saya, bila pertunjukan ini menggunakan media video, maka slide foto bisa disertakan menyertai adegan ini. Dimana dilayar muncul berganti-ganti foto-foto dokumentasi sejarah, dari zaman pergerakan sampai mungkin foto Soeharto menyatakan pengunduran dirinya, Gus Dur yang didorong di atsas kursi roda, dst. Gambar slide itu seakan adalah gambar di albun yang diperlihatkan oleh Raden Mas Suhikayatno. Komentar-komentar Raden Mas Suhikayatno selanjutnya bisa dikembangkan berkaitan dengan foto-foto yang muncul pada layar. Bila secara tekhnis sulit, berarti tak ada slide foto-foto itu.

[35] Di sini akan disebut sebagai Robot. Peran robot dimainkan oleh aktor yang bertubuh kecil. Bisa laki. Bisa perempuan. Tapi kostum robot mesti tidak menyarankan identifikasi jender itu.



PRESIDEN KITA TERCINTA

Saya baru saja menyelesaikan naskah lakon “Presiden Kita Tercinta”. Lumayan menyita waktu saya proses penulisan drama itu, tentu di samping kesibukan saya yang lain, hingga blog ini agak terbengkalai. Lakon ini, rencananya, akan dipentaskan tahun 2009 nanti. Kisahnya seputar penggulingan seorang Presiden, dan kemudian terjadi kesibukan untuk mencari penggantinya. Siapa yang tepat jadi Presiden? Begitulah, intrik-intrik pun terjadi. Untuk pemanasan, saya turunkan bagian dari lakon itu. Bagian ketika proses pemilihan Presiden itu berlangsung dalam kemeriahan. Ini dia petilannya.

Sekeping Koin Wasiat

Ada kain terjuntai, menandai halaman belakang Istana Kepresidenan. Pada kain itu, tampak silhuet bayangan Kolonel Kalawa Mepaki yang sedang berlatih pedang, bermain anggar, dengan gerakan yang lincah, meski kakinya pincang. Ia begitu gesit memainkan pedangnya, seakan bertarung dengan musuh yang tak kelihatan.

Tuan Pitaya Mentala mengawasi, berdiri di dekat Lalita Maningka yang duduk dibawah naungan payung – semacam payung kebesaran yang indah – yang dipegangi seorang prajurit. Prajurit pembawa payung ini, nantinya akan selalu mengambil posisi memayungi Lalita Maningka, kemana pun ia bergerak.

Tuan Pitaya Mentala, “Dasar bahlul… Setiap hari ente berlatih, seakan-akan setiap saat musuh akan menikam ente dari balik kegelapan…”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Musuh selalu berbahaya, karena ia bahkan bisa menyamar sebagai orang yang paling dekat.”

Tuan Pitaya Mentala, “Tapi kan ane sohib ente. Tidak mungkinlah kalau ane…”

Tiba-tiba Kolonel Kalawa keluar dari balik kain itu, dan langsung mengarahkan ujung pedangnya tepat di depan wajah Tuan Mitaya, membuat Tuan Pitaya langsung menghentikan ucapannya.

Kolonel Kalawa Mepaki, “Kita lihat saja… Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya…”

Tuan Pitaya Mentala mencoba bersikap tenang, mencoba menghindar.

Kolonel Kalawa Mepaki, “Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya!”

Tuan Pitaya Mentala, “Aduuuh, ente berlebihan, Kolonel… Ane kira, tak perlulah main-main seperti ini… Mubazir… Ada hal-hal yang lebih bersifat konstitusional yang musti kita lakukan. Kita musti menjalankan amanat konstitusi…”

Terasa kalau Tuan Pitaya nampak sekali ingin berkelit, menunda pertarungan. Tetapi pada saat itulah, Lalita Maningka sudah menyodorkan pedang padanya…

Lalita Maningka, “Bersikaplah layaknya laki-laki terhormat, Tuan Pitaya…”

Mau tak mau Tuan Pitaya Mentala menerima pedang itu. Dan begitu Tuan Pitaya sudah memegang pedang, Kolonel Kalawa langsung melakukan serangan. Tapi rupanya Tuan Pitaya cukup mahir juga memainkan pertarungan. Ia menghindar, dan kemudian memberikan serangan. Begitulah, mereka terus memainkan pedang selama percakapan ini.

Kolonel Kalawa Mepaki, “Gerakan yang lumayan untuk seorang yang terlalu banyak berfikir…”

Tuan Pitaya Mentala, “Kekuatan senjata bukan pada tenaga, Kolonel. Pikiranlah yang menggerakkan senjata…”

Tampak Kolonel Kalawa terdesak.

Tuan Pitaya Mentala, “Bahkan pikiran bisa jauh lebih kuat dari senjata, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Tergantung siapa yang memegang senjata. Saya faham bagaimana memainkan senjata, bahkan ketika musuh-musuh saya mengira saya lemah…”

Dan mendadak dengan begitu piawai Kolonel Kalawa membalikkan keadaan hingga kini ia mendikde permainan Tuan Pitaya, mendesaknya, bahkan cenderung mengejeknya. Kini Tuan Pitaya kerepotan menghindar menangkis serangan, dan terdesak. Keduanya berhenti, dengan pedang saling bersilangan…

Tuan Pitaya Mentala, “Ente tidak lemah…hanya sering gegabah. Keadaan ini tidak cukup diatasi dengan senjata, Kolonel. Itulah sebabnya ente membutuhkan ane… Kekuatan dan pikiran, seperti dua sisi keping keberuntungan yang ente miliki…”

Kemudian kembali keduanya saling memainkan pedangnya. Tampak keduanya seimbang dalam permainan. Sampai kemudian keduanya terlihat serempak melakukan serangan mematikan. Ujung pedang Kolonel Kalawa tepat mengarah di leher Tuan Pitaya. Sedang ujung pedang Tuan petaya tepat berada seinci di dada Kolonel Kawala.

Kolonel Kalawa Mepaki, “Hati-hati leher Anda, Tuan Pitaya…”

Tuan Pitaya Mentala, “Hati-hati jantung ente…”

Lalita Maningka langsung bertepuk tangan menyaksikan akhir permainan itu.

Lalita Maningka, “Laki-laki memang selalu ingin membuktikan dirinya paling hebat. Tapi nasib dua orang hebat akan selalu mengenaskan dalam pertarungan… Keduanya bisa sama-sama mati konyol… Saya kira, ada hal-hal mendesak yang harus kita matangkan, selain bertingkah konyol seperti itu.”

Tuan Pitaya Mentala, “Itulah yang tadi ingin ane katakan pada Kolonel. Secara konstitusi kita musti secepatnya melakukan tindakan-tindakan yang bersifat konstitusional…”

Lalita Maningka, “Hentikan omong kosong soal konstitusi, Tuan Pitaya! Saya sama sekali tak percaya!”

Kolonel Kalawa Mepaki, menyela cepat, “Nyonya Lalita Maningka… Nada bicara Nyonya seakan-akan Nyonya yang memberi perintah di sini!!”

Lalita Maningka, “Syukurlah pendengaran Anda masih baik, Kolonel. Apakah Anda mengharap saya duduk manis melihat ini semua? Ingat, Kolonel, bagaimana pun saya adalah istri syah Presiden almarhum…”

Tuan Pitaya Mentala, “Dan secara konstitusi mewarisi tapuk kekuasaan tertinggi bila Presiden berhalangan secara tetap…”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Nyonya Lalita tidak percaya pada konstitusi, Tuan Pitaya!”

Lalita Maningka, “Kalau yang ini saya percaya, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki tampak geram, lantas mengeluarkan koin keberuntungannya. Melempar lalu tersenyum demi melihat isyarat dari keping keberuntungannya itu.

Kolonel Kalawa Mepaki, “Saya hanya percaya, kalau ini hari keberuntungan saya!”

Lalita Maningka, “Anda memang beruntung, Kolonel, karena saya tetap percaya pada Anda…”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Kepercayaan Nyonya pada saya, tentu saya hargai. Tetapi yang jauh lebih penting adalah kepercayaan rakyat pada saya.”

Lalita Maningka, “Dan dengan apa Anda akan memperoleh kepercayaan rakyat itu? Seribu batalion pasukan Anda, barangkali bisa menakut-nakuti mereka. Tapi peluru yang Anda miliki tidak akan cukup untuk menghabisi jutaan rakyat bila mereka terus-terusan membangkang. Karna itulah Anda membutuhkan saya, Kolonel. Karna sayalah yang bisa menenangkan mereka. Mereka menghormati, bahkan memuja saya, sebagai Ibu Suri, sebagai Ibu Negara. Mereka tidak berbondong-bondong mengepung Istana ini, karena mereka tahu saya mendukung Anda.”

Tuan Pitaya Mentala, “Dan secara konstitusional, ane-lah yang membenarkan tindakan ente…”

Lalita Maningka, “Cukup, Tuan Pitaya. Saya tak mau dengar soal konstitusi!”

Tuan Pitaya Mentala, “Tapi tadi Nyonya percaya konstitusi…”

Lalita Maningka, “Yang ini saya tidak percaya!”

Dengan gayanya yang anggun, penuh kuasa, Lalita Maningka, mendekati Kolonel Kalawa.

Lalita Maningka, “Saya membiarkan suami saya terbunuh, karena saya yakin ini jalan terbaik bagi Republik ini. Sebagai Presiden dan suami, ia sudah tua. Ia sudah kehilangan arah. Kekuasaanya mulai rapuh… Ketika banyak kasuk-kusuk di kalangan Perwira, saya menaruh harapan besar pada kamu. Saat itu, aku yakin, kamu banteng muda yang dapat diandalkan. Maka, jari yang lembut ini pun diam-diam mulai melapangkan jalan buatmu. Apa kau tidak merasakan itu, Kolonel? Kamu, saat ini pasti masih menjadi Kopral ingusan, bila saya tak mengatur semuanya. Saya lakukan semua itu, Kolonel, karena saya pikir itu cara terbaik menyelamatkan negara ini dari perang saudara…”

Selama Nyonya Lalita Maningka bicara penuh aura kuasa seperti itu, Kolonel Kalawa Mepaki mencoba menutupi perasaannya dengan memain-mainkan koinnya. Melempar menangkap koin itu terus menerus.

Lalita Maningka, “Seperti Paman Gober, kamu boleh mempercayai koin keberuntunganmu. Tapi sayalah Evita Peron Republik ini. Yang membuat rakyat percaya pada mimpi. Harapan. Sayalah yang selalu tampil membagi-bagikan makanan, memberi pakaian gratis, memeluk bayi-bayi mereka yang busung lapar… Saya Ibu Negara yang mempesona mereka, Kolonel. Kalau Anda butuh kepercayaan rakyat, maka Anda membutuhkan kepercayaan saya!”

Tuan Pitaya Mentala, “Karna itulah, Kolonel…, mari kita bermusyawaroh tanpa su’udzon. Ada beberapa soal yang musti dibereskan. Berdasarkan konstitusi…”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Langsung pada pokok perkara, Tuan Pitaya!!”

Tuan Pitaya Mentala, “Oh, iya, iya… Langkah konstitusional pertama, ialah mengangkat beberapa Menteri…”

Tuan Pitaya menyerahkan selembar daftar pada Kolonel Kalawa.

Tuan Pitaya Mentala, “Ane sudah menyusunnya. Tingal ente paraf. Yang nomor wahid adalah Kementerian Sumber Daya Moral dan Agama. Ente jangan sampai salah pilih mengangkat Menteri ini…”

Lalita Maningka, “Siapa calonnya?”

Tuan Pitaya Mentala, “Sudah barang tentu, yang paling pantas menjadi Menteri Sumber Daya Moral dan Agama adalah sohib ane: Habib Utawi Kadosta. Dia pemimpin spiritual kondang, Ketua Front Pembela Agama, pemegang monopoli kebenaran, dan tercatat sebagai satu-satunya calon penghuni surga dari kota kita… Bagaimana, Kolonel…”

Kolonel Kalawa melempar koinnya, melihat apa yang keluar di koin itu.

Kolonel Kalawa Mepaki, “Setuju!”

Tuan Pitaya Mentala, “Yang kedua soal Menteri Pendidikan…”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Tidak perlu ada Kementerian Pendidikan. Cuman ngabis-ngabisin anggaran!”

Tuan Pitaya Mentala, “Tapi secara konstitusi, kita memang wajib mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan.”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Tidak perduli konstitusi! Pokoknya hapus Kementrian Pendidikan! Saya lebih suka Kementrian Sosial…”

Tuan Pitaya Mentala, “Lho, justru Kementrian Sosial ini yang sudah dihapus oleh Presiden lama kita…”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Kalau begitu, hidupkan lagi! Begitu saja kok repot!” Melemparkan koinnya, “Setuju!!”

Tuan Pitaya Mentala, “Nama-nama kandidat menteri dan pejabat lainnya, bisa ente simak di daftar itu…”

Kemudian Kolonel Kalawa Mepaki, menyebut beberapa nama, mengomentarinya bersama Tuan Pitaya Mentala. Di sinilah, adegan bisa bermain-main dengan menyebut nama-nama penonton yang hadir. Dan Kolonel Kalawa selalu melemparkan koinnya, dan berseru, “Setuju!”

Kolonel Kalawa Mepaki, “Sekarang, bagaimana dengan Kursi Nomer Satu…”

Tuan Pitaya Mentala, “Beradasarkan konstitusi, secepatnya kita musti melaksanakan Pemilu…”

Kolonel Kalawa Mepaki, mengeram marah, “Anda meragukan kemampuan saya, Tuan Pitaya?!”

Tuan Pitaya Mentala, “Haqul yakin, Kolonel, ene percaya ama ente. Tapi konstitusi Republik ini mengatakan kalo Negara ini musti menjadi Negara yang tampak demokratis. Ente musti mahfum itu… Apa kata dunia, kalau kita tidak menyelenggarakan Pemilu. Bisa dianggap junta militer Republik ini… Rakyat pasti bereaksi keras!”

Lalita Maningka, “Dan kita bisa kena embargo internasional, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki, menatap penuh kecurigaan, “Saya mulai mencium bau pengkhiatan…

Tuan Pitaya Mentala, “Ente jalan salah faham, Kolonel… Ente-lah kunci semua ini. Tetapi ente juga mesti tabayun, bagaimana ente musti memakai kunci itu. Ane sama sekali tak tertarik ama Kursi Nomer Satu. Ane pikir, bukan siapa yang duduk yang terpenting. Tapi siapa yang mengendalikan yang duduk dikursi itu…”

Lalita Maningka, “Seperti permainan bayang-bayang, Kolonel…”

Tuan Pitaya Mentala, “Soheh! Soheh! Persis seperti itu…”

Tuan Pitaya Mentala mendekati Kolonel Kalawa Mepaki, dengan gaya diplomat ulung yang ingin memberikan pengertian.

Tuan Pitaya Mentala, “Dulu, semasa kecil, ane suka sekali bermain bayang-bayang…”

Tuan Pitaya lalu melai memainkan tanggannya, seperti kanak-kanak yang bermain membuat bayang-bayang ditembok. Tangan Tuan Pitaya membuat gambaran burung yang terbang, kepala anjing, dan bermacam permainan bayang-bayang. Pada saat inilah, pada kain yang menjuntai itu, muncul bayang-bayang tangan Tuan Pitaya. Secara tekhnis, bayang-bayang pada kain itu bisa dimainkan oleh aktor pendukung atau kru panggung, dengan mengikuti gerak tangan Tuan Pitaya. Tetapi, bisa saja, secara komedis, sesekali bayangan pada layar itu justru berbeda dengan gerakan tangan Tuan Pitaya.

Tuan Pitaya Mentala, “Orang akan melihat gerak bayang-bayang itu, tetapi lupa, pada yang menggerakkannya. Bayang-bayang itu seperti hidup, padahal kitalah yang memainkan. Itulah kenapa seorang jagoan tembak bisa menembak lebih cepat dari bayangannya. Itulah ilusi bayangan, Kolonel! Kita mesti menciptakan ilusi itu. Memilih orang yang mau menjadi ilusi itu…”

Adegan permainan bayangan itu selesai…

Tuan Pitaya Mentala, “Itulah manfaat mengadakan Pemilu itu, Kolonel. Menciptakan ilusi, bahwa kita menjalankan demokrasi. Nanti, kita ciptakan sebayak mungkin partai. Biarkan setiap orang membikin partai. Partai besar, partai kecil, partai Impian Jaya Ancol… Nah, lalu biarkan setiap orang mencalonkan diri jadi Presiden. Kalau perlu, secara konstitusi kita tetapkan, bahwa wajib hukumnya bagia siapa pun untuk mencalonkan diri jadi Presiden. Mereka boleh menjadi calon idependen bagi dirinya sendiri. Biarkan setiap orang merasa yakin mampu jadi Presiden. Sudah pasti ini lebih banyak manfaatnya dari pada mudaratnya, Kolonel…”

Kolonel Kalawa menatap tajam Tuan Pitaya. Lalu dengan dingin mengarahkan ujung pedangnya ke wajah Tuan Pitaya, hingga Tuan Pitaya tampak kaget, tak menduga. Tapi mendadak Kolonel Kalawa Mepaki tertawa penuh kesenangan…

Kolonel Kalawa Mepaki, “Tidak percuma saya memelihara ular macam Anda, Tuan Pitaya…”

Pesta Para (Calon) Presiden

Musik kemeriahan membahana! Janur dan umbul-umbul menandai kemeriahan pesta. Kota bersolek. Orang-orang berbaris dan bernyanyi. Sementara Kolonel Kalawa Mepaki dan Tuan Pitaya Mentala menyaksikan semua kemerihan itu.

Barisan Warga yang Bernyanyi,

Demokrasi…demokrasi…

Ini Pesta Demokrasi

Demokrasi… demokrasi…

Bergabunglah bersama

mengubah keadaan

Ayo mendaftarlah

Menjadi Presiden yang mulia

Kita tak cuma memilih

Tapi juga berhak dipilih.

Daftarkan ayo daftarkan

Siapa saja boleh ikut serta

Menjadi Presiden kita tercinta

Siapa tahu nasib sedang mujur

Anda terpilih dan hidup makmur

Daftarkan ayo daftarkan

Dartarkan ayo segera…

Kolonel Kalawa Mepaki bersama Tuan Pitaya Mentala menyaksikan semua keramaian itu dari suatu tempat. Orang-orang riang bernyanyi, berbaris, larut dalam kegemberiraan perayaan. Beberapa serdadu tampak bertugas sebagai Panitia Penerimaan Pendaftaran itu. Sampai kemudian Tuan Pitaya Mentala, memberikan pidato sambutan…

Tuan Pitaya Mentala, “Saudara-saudara sebangsa setanah air. Sebagaimana diamanatkan konstitusi, setiap warga Negara berhak memilih dan dipilih jadi Presiden. Oleh karna itulah, siapa pun, baik yang merasa sehat mau pun tidak sehat jasmani dan rohaninya, wajib mendaftarkan dirinya. Yang tua, yang muda, ayo silahkan mencalonkan diri menjadi Presiden. Inilah saatnya ente-ente mengiklankan diri jadi pemimpin. Pendaftaran bisa secara langsung, atau lewat SMS. Tinggal ketik REG spasi PILPRES kirim ke Po Box 212. Keputusan pemenang bersifat mutlak, dan tidak bisa diganggu gugat. Barangsiapa yang tidak mencalonkan dan mendaftarkan dirinya menjadi Presiden, maka akan dianggap membanggkang dan merongrong stabilitas Negara. Nah, sekarang silakan ente-ente pada mendaftar. Mohon antri yang tertib, jangan rebutan kayak antri minyak atau sembako.”

Dengan iringan musik, orang-orang itu pun antri mendaftar. Para Serdadu yang menjadi Petugas Pendaftaran, mencatat, memeriksa mulut atau mata atau ketiak orang-orang yang mendaftar itu. Begitu selesai, orang itu langsung berjalan menuju ke arah dimana Kolonel Kalawa dan Tuan Pitaya berada. Tuan Pitaya mengamati calon di depannya itu dengan ketelitian juru taksir profesional pegadaian. Atau mengingatkan pada blantik sapi yang dengan teleti mengamati sapi yang hendak dibelinya. Sementara Kolenel Kalawa Mepaki langsung melemparkan koinnya, untuk memutuskan calon itu…

Kolonel Kalawa Mepaki, “Gagal!”

Lalu orang itu segera pergi, dan dilanjutkan giliran orang di belakangnya.

Kolonel Kalawa Mepaki, memainkan koinya, “Gagal!”

Dan orang itu pun segera pergi, dilanjutkan giliran orang di belakangnya.

Kolonel Kalawa Mepaki, memainkan koinya, “Gagal!”

Begitu seterusnya, Kolonel Kalawa selalu melemparkan koinnya dan berteriak, “Gagal!”, sementara orang-orang berbaris antri, hingga tampak seperti sebuah prosesi pemilihan dengan segala kelucuannya. Ada juga orang yang setelah dinyatakan gagal, kemudian balik kembali ikut antri.

Tapi mendadak orang-orang yang tengah antri itu menjadi ketakutan ketika muncul Awuk. Seperti anjing yang ingin diperhatikan, Awuk pun menggonggong ke arah antrian orang-orang itu…

Awuk, “Hai…Haik… Hai…Haik… Haik…”

Orang-orang mencoba menyingkir, menghindari Awuk setiapkali ia mendekat dan menyalak. Tuan Pitaya Mentala segera mencoba mengatasi keadaan.

Tuan Pitaya Mentala, mendekati Awuk, “Berdasarkan konstitusi, anjing dilarang ikut Pemilu! Pergi! Pergi!”

Tuan Pitaya Mentala segera menyambit Awuk dengan batu. Awuk melolong kesakitan. Dan segera, orang-orang pun ramai-ramai melempari Awuk hingga Awuk terbirit-birit ketakutan. Setalah itu kembali musik menghentak. Kembali orang-orang bernyanyi rampak.

Nyanyian Orang-orang,

Daftarkan ayo daftarkan

Siapa saja boleh ikut serta

Menjadi Presiden kita tercinta

Siapa tahu nasib sedang mujur

Anda terpilih dan hidup makmur

Daftarkan ayo daftarkan

Dartarkan ayo segera…

Kemudian sayup dan menghilang.

The next version of Ubuntu is coming soon

sare laju kencengnga

Banner ini akan tampil di blog Anda!: